Nampaknya hajatan pemilihan kepala daerah di Indonesia perlu dilihat
dengan pendekatan fenomenologi. Beberapa waktu yang lalu kita
disajikan dengan berita seorang penyanyi dangdut yang mencalonkan diri
menjadi wakil walikota Serang, Banten, meskipun saya agak sedikit
miris melihat fenomena seperti ini. Bukan saya mau meremehkan
"niat baik" mereka untuk –katanya– mencoba memperbaikin kondisi
masyarakat dengan menjadi pemimpin. But so far yang saya tahu –sebagai
orang yang masih awam– bahwa syarat menjadi seorang pemimpin itu adalah yang memiliki kemampuan baik fisik maupun akal, bukan cuma sekedar mau dan niat "ikhlas" ingin memperbaiki, apalagi kalau tidak punya pengalaman sama sekali dalam masalah politik…(secara kerjaannya
sehari-hari nyanyi gitu loh…). Saya tidak lagi mempermasalahkan posisi
dia sebagai artis atau dokter atau apa sajalah, yang penting adalah
dia punya kemampuan dan bukan aji mumpung. Karena satu hal yang perlu
diperhatikan dan pastinya ini disepakati oleh orang banyak yaitu,
menjadi pemimpin bukanlah sebuah hal yang mudah. Apalagi dengan adanya
"piring-piring kotor" dari masa kepemimpinan sebelumnya yang harus dicuci.

Lain di Banten, lain lagi di Bogor. Tidak salah saya tulis "Kini
saatnya dukun bertindak". Saya kaget mendengar berita pagi ini di
salah satu stasiun TV yang mengabarkan bahwa Ki Gendeng Pamungkas yang
notabene seorang dukun, hendak mencalonkan diri menjadi wakil walikota
Bogor. Hal itu dia lakuakn setelah bertapa di Kebun Raya Bogor dan
merasa yakin kelak akan memenangkan Pilkada Bogor. Jujur, rasanya saya
mau tertawa terbahak-bahak mendengar berita itu –orang mana yang tidak
merasa lucu mendengar berita itu, mungkin dia dapat wangsit dari jin
penghuni Kebun Raya Bogor– tapi mulut saya tidak sanggup tertawa
karena lebih dulu merasa...yah tak karuan lah rasanya. Mau marah, tapi
tidak tahu marah pada siapa, mau kecewa juga sama
siapa….MasyaAllah… .apajadinya suatu kaum dipimpin oleh dukun? Orang
yang secara terang-terangan bersekutu dengan jin dan jelas hal ini
merupakan perbuatan musyrik. "Siapa yang mendatangi peramal/dukun,
lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, niscaya shalatnya tidak
diterima selama empat puluh hari"(Hadits Riwayat Muslim, kitab
As-Salam 2230) "Siapa yang mendatangi dukun, lalu membenarkan
ucapannya, berarti ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada
Muhammad"(Hadits Riwayat At-Tirmidzi, kitab Ath-Thaharah 135, Ibnu
Majah, kitab Ath-Thaharah 639, Ahmad dalam Al-Musnad 9252).

Mungkin sebagian orang akan beranggapan, "biar saja Si Gendeng
Pamungkas mencalonkan diri jadi wakil walikota, toh baru mencalonkan,
belum tentu menang. Lagi pula itu hak asasi dia, tidak ada perbedaan
antara dukun, politisi, atau artis dalam kedudukannya sebagai warga
negara". Ini dia satu lagi masalah pemikiran. Sebenarnya sih masalah
seperti ini bisa saja dianggap tidak penting bagi sebagian orang, tapi
menurut saya, ini adalah salah satu bibit pendangkalan akidah. Kalau
orang Kristen yang mencalonkan diri sebagai wakil walikota ataupun
walikotanya, memang itu juga suatu hal yang memprihatinkan, tapi kan
sudah jelas dia orang kafir yang mungkin masyarakat awam pun tahu
bahwa dia adalah "orang yang tidak akan masuk surga"—yah bahasa
gampangnya gitu deh—. Tapi kalau sudah dukun yang bertindak, lain
masalahnya. Di Indonesia ini masyarakat awam masih banyak yang senang
dengan klenik dan perdukunan, hal ini akan membuka lagi peluang naik
pamornya para dukun sekaligus pendangkalan akidah. Tapi semoga dugaan
saya ini salah, dan semoga masyaraat semakin kuat akidahnya dengan
adanya cobaan-cobaan semacam ini. Allah al-Musta'an.

www.risalaty. multiply. com

Komentar