nikah tanggal 8 bulan 8 tahun 2008, kenapa tidak

Sebuah harian ibukota menulis berita yang menonjol. Atau mungkin menggelikan. Ringkasnya disebutkan bahwa kantor KUA kewalahan melayani permintaan masyarakat (pasangan) yang ingin menikah pada tanggal 08-08-‘08, tidak tanggung-tanggung waktunya pukul 08:08.

Mungkin yang tidak kebagian pada waktu ini akan memilih pukul 18:18, 20:08, atau terserah merekalah… Woou…, ada yang salah dengan ini? Ternyata tidak ada yang salah. Setidaknya jika memang berlandaskan prinsip yang benar. Setiap kita punya harapan untuk sesuatu yang akan kita lakukan. Jika ada yang salah maka kesalahannya adalah kita meletakkan harapan berlebihan serta nilai yang salah. Banyak yang salah dalam memaknai dan menyikapi potensi waktu sebagai titik perubahan. Momentum waktu lebih sering dianggap sebagai kebanggaan. Tanpa makna. Bukan tidak boleh jika kita hendak melakukan sesuatu sesuai dengan waktu-waktu tertentu yang kita anggap “baik”. Namun lebih sering kita dapati di sekitar kita penggolongan “baik” ini yang semakin bergeser.

Apakah waktu pada hari ini adalah waktu terbaik? Bagaimana jika dikatakan bahwa ini adalah waktu yang seharusnya “dihindari”. Toh baik di hari ini menurut sebagian kita tidak berarti baik untuk yang lain. Apakah masih pantas disebut baik untuk mereka yang tertimpa musibah pada hari ini? Atau apakah mungkin yang mendapat nikmat boleh menganggap hari ini “baik”? Harus dilihat lebih detil lagi tentunya.

Dalam agama pun disebutkan tentang waktu-waktu terbaik. Ramadhan adalah bulan terbaik, hari jumat adalah hari terbaik, 1/3 malam adalah saat terbaik berdoa, dan lain-lain, dan lain-lain. Di sini momentum waktu tidak sekedar menjadi kenangan tetapi untuk menghasilkan perubahan. Karena Ramadhan bulan terbaik, maka selayaknya memperbanyak ibadah, maupun amal lain. Dalam hal ini, penyikapan momentum Ramadhan akan menjadikan perubahan yang positif. Seperti ini seharusnyalah kita menyikapi momentum. Momentum waktu layaknya seperti memulai sebuah langkah. Tetapi, tujuan semestinya telah ditetapkan sebelum memulai dan melandasi gerak kita selanjutnya. Banyak titik-titik waktu dalam hidup kita yang dapat dijadikan momentum, baik sebagai pribadi, seorang muslim, bagian dari masyarakat atau sebagai sebuah bangsa. Tetapi tanpa memaknai dan menetapkan nilai untuk langkah awal pada momentum waktu ini, maka hidup kita pun tanpa makna. Lebih lebih jika dalam perjalanannya kita melupakan nilai-nilai tersebut. Nilai yang seharusnya kita capai dan wujudkan. Menjadi lebih baik (bermanfaat) dari hari ke hari seharusnya menjadi pegangan kita dalam memanfaatkan titik-titik momentum waktu.

Di sepanjang langkah ini, kita pun berkesempatan menengok ke belakang. Melihat momentum awal dan arah perjalanan kita. Dan tujuan yang salah hanya akan membuat kita menyesali momentum (langkah) awal yang pernah kita buat. Kita pun boleh dan seharusnya belajar dari orang-orang besar yang mampu menjadikan momentum waktu, tempat sebagai pelontar prestasi. Buya Hamka misalnya yang menjadikan saat-saat di dalam penjara sebagai waktu untuk menghasilkan karya besarnya. Ya.. orang-orang besar tahu bagaimana memenej momentum yang datang padanya. Akhirnya kita harus belajar agar kita tidak terjebak pada harapan besar pada momentum. momentum menjadi titik awal. Prestasi dan peningkatan potensi diri. Mudah-mudahan.

Wallahu a’lam

Komentar