tantangan memangkas PNS

Tantangan untuk Memangkas PNS

Idealnya, PNS di negeri ini ditekan jumlahnya namun ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, PNS bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik tanpa harus melakukan pungli atau korupsi. Dengan perbaikan kesejahteraan, seharusnya nafsu untuk mencari sabetan juga bisa ditekan. Walau begitu, jelas bukan perkara yang mudah untuk memotong jumlah PNS yang ada saat ini. Pemerintah (presiden) tentu menghadapi risiko-risiko seperti:

Resistensi Internal

Dengan sistem yang telah ada saat ini, ada kecenderungan para pejabat berusaha membuat ukuran departemennya tetap besar. Makin besar berarti makin sulit dikendalikan oleh pihak lain sekaligus makin sulit dibubarkan. Akibatnya, pegawai menjadi seperti kekuatan massa di partai politik. Serikat pekerja yang terbentuk menjadi terdorong untuk mementingkan kesejahteraan mereka sendiri dan mengabaikan mereka di luar yang belum mendapat pekerjaan. Tak heran bila jumlah PNS terus membengkak dengan ongkos yang kian mahal—-masa bodoh dengan efisiensi dan efektivitas.

Imej di Mata Rakyat

Bagi sebagian masyarakat tradisional di Indonesia, rekrutmen PNS dipandang sebagai indikator bahwa perekonomian bagus karena negara mampu membiayai dan mempekerjakan banyak orang. Di beberapa wilayah, banyak yang rela menjual tanah dan sawah agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan harapan agar menjadi PNS. Kalau jumlah PNS dikurangi dan rekrutmen dibatasi, imej pemerintah (presiden) di mata rakyat akan anjlok. Dampak lainnya, bisa jadi angka partisipasi pendidikan akan menurun. Dalam skala yang lebih akut, hal ini bisa menyebabkan destabilisasi mata uang rupiah akibat merosotnya kepercayaan kepada pemerintah.

Risiko Politik

Mana ada presiden yang berani menanggung risiko dihujat rakyat selama menjabat plus risiko hampir pasti tak terpilih untuk masa jabatan berikutnya? Belum lagi hal ini bisa mendorong berkurangnya dukungan politik yang berpindah ke tokoh lain. Kalau hal ini terjadi, kursi kabinet bisa digoyang oleh orang-orang yang tidak puas. Class action dan pergerakan besar-besaran di jalan sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik yang suka melibas di tikungan.
Last But Not Least

Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%) sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal—-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.

Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi. Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini, namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan lebih proporsional.

Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.

setuju????

Komentar