Masih ingat jaman dulu ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak? Setiap
menjelang pulang para guru berdiri di depan dengan kalimat yang khas, "Siapa
yang duduknya paling rapih pulang duluan" seketika seluruh kelas hening tak
bersuara, duduk dengan sikap paling sempurna, mulut tertutup rapat dengan
tangan kanan dan kiri saling menindih di atas meja. Berdebar-debar menunggu
siapa yang dinilai paling sempurna sikapnya dan disebutkan namanya untuk
dibolehkan keluar kelas paling pertama. Ketika nama saya tak disebut,
melainkan nama yang lain, saya mencoba lebih menyempurnakan sikap. Mungkin
saja posisi tubuh saya belum tegap, atau tangannya tidak terlipat sempurna.
Tak hanya saya, teman lain yang tak dipanggil hingga panggilan kesekian pun
semakin gelisah sambil terus memperhatikan letak duduk, posisi tubuh, hingga
mata yang ditahan-tahan tak berkedip untuk menunjukkan sikap sempurna.
Barulah senyum mengembang ketika nama disebut sambil melirik ke arah bangku
kelas, karena ternyata masih ada beberapa teman tertinggal di belakang.
Bangga sedikit boleh, tapi belum puas karena tidak menjadi yang paling
sempurna.
Keesokan harinya, ketika masuk kelas sudah berpikir untuk bersiap-siap jika
menjelang pulang nanti harus bersikap jauh lebih baik, jauh lebih sempurna
dari kemarin. Alhasil, meski tidak juga menjadi yang pertama, tetapi lebih
baik dari kemarin. Terus hingga hari berikutnya pun sikap sempurnanya
diperbaiki lagi hingga pada suatu hari mendapat kesempatan untuk keluar
kelas urutan pertama. Bangga, pasti. Senang, jelas. Karena dari hari ke hari
berupaya untuk menjadi yang paling sempurna tercapai di hari itu.
Di lain masa dan di lain tempat, hukum kesempurnaan itu terus berlaku.
Teringat saat mengaji di kampung, Pak Ustadz akan mengizinkan para santri
pulang ke rumah setelah menghapal salah satu *Surah *pendek yang sudah
ditentukan satu hari sebelumnya. Siapa yang sudah hapal dipersilahkan maju
untuk diuji. Lancar dan bagus bacaannya, boleh pulang. Jika terbata-bata,
silahkan duduk dan pelajari lagi sambil menunggu giliran berikutnya. Bagi
yang tidak hapal, harap pasrah pulang paling akhir plus dengan sedikit
'omelan' Pak Ustadz.
Setiap kali seorang santri tengah diuji hapalannya, santri yang lain
komat-kamit menghapal, sementara lainnya memperhatikan bacaan santri yang
sedang diuji sambil berdebar-debar menunggu giliran. Santri yang sudah
teruji, tak jarang menjadi contoh dan dipuji Pak Ustadz. Bangga, tentu saja
lantaran hari itu ia menjadi yang pertama mampu melewati ujian. Seorang
teman satu pengajian pernah mengisahkan kegembiraannya setelah terpilih
mewakili pengajian kami untuk lomba *hifdzil quran* (hapalan quran). Meski
pun tidak menang dalam perlombaan itu, terpilh untuk mewakili pengajian kami
pun sudah prestasi luar biasa baginya.
Hukum kesempurnaan ini akan berlaku kapan pun dan di mana pun. Kesempurnaan
dimaksud adalah bukan titik puncak dari apa yang bisa dilakukan seseorang.
Melainkan sebuah upaya maksimal yang mampu diusahakan, ianya diperoleh
melalui proses panjang yang melelahkan. Kesempurnaan bisa dicapai dengan
akal pikiran, kerja keras yang tak kenal menyerah. Seorang siswa terpilih
menjadi siswa teladan bukan hanya karena nilainya tertinggi, melainkan juga
dinilai dari aspek lainnya seperti sikapnya terhadap guru dan teman,
kepemimpinannya di kelas, kedisiplinan, kerapihan, kebersihan, dan kecakapan
lainnya yang di atas rata-rata teman satu sekolahnya.
Seorang karyawan di sebuah perusahaan akan mendapat promosi bukan saja
karena hasil kerjanya yang memuaskan selama satu tahun. Para atasannya juga
melihat kedisplinan serta hubungan baiknya dengan sesama karyawan sehingga
mampu menciptakan semangat kerja sama yang bagus. Sama halnya dengan orang
tua yang tak segan-segan memberi hadiah kepada anaknya yang rajin, cerdas
dan taat menjalankan perintahnya.
Karenanya, berusahalah terus untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
Kalau kita bisa menapak anak tangga ke seratus, kenapa harus berhenti di
anak tangga ke tujuh puluh? Kalau sanggup mendaki Mount Everest, kenapa
hanya bukit kecil? Kalau sanggup menyelesaikan dua-tiga pekerjaan dalam
sehari, kenapa hanya satu? Kalau sanggup mendapat nilai A dalam ujian,
kenapa hanya berusaha mendapatkan B?
Allah itu sempurna, maka dekatilah Dia dengan cara yang sempurna. Sebagai
hamba kita harus beribadah dan bekerja secara sempurna. Perbaikilah semua
yang masih bisa diperbaiki, sempurnakan segala yang seharusnya bisa lebih
sempurna. Bukankah orang-orang yang akan menghuni surga Allah adalah
orang-orang terpilih? Jadilah sempurna, agar kita menjadi orang-orang
terpilih. *Insya Allah* (bayu gawtama)
Komentar